Minggu, 24 Agustus 2008

HAK - HAK MUSLIM

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw : “Hak muslim atas muslim itu ada enam : Apabila kamu bertemu dengannya , hendaklah engkau memberi salam kepadanya, apabila ia mengundangmu, hendaklah engkau memperkenankannya; apabila ia minta nasihat, hendaklah engkau menasihatinya; apabila ia bersin lalu membaca Alhamdulillah, hendaklah engkau do’akan dia; apabila ia sakit, hendaklah engkau melawat dia, dan apabila ia mati, hendaklah engkau ikuti/antarkan (jenazahnya ke kuburan)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

PENJELASAN

Arti Hak
Kata Hak termasuk lafad musytarak yang mempunyai arti beragam sesuai dengan konteks kalimatnya. Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab mengartikan Hak sebagai : 1) benar, lawan batil, 2) milik atau kepunyaan ataupun bagian yang didapat, 3) kewajiban yang harus ditunaikan, dll.

Menurut Muhammad Ismail Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subul as-Salam yang dimaksud dengan kata Hak dalam Hadits ini adalah suatu tuntutan yang patut dikerjakan, yang hukumnya boleh jadi wajib atau sunat. Jika tuntutan itu keras, maka wajib hukumnya; dan hukumnya sunnat, jika tuntutannya ringan.

Adapun hak-hak muslim atas muslim adalah :

(1)
إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ

“Apabila kamu bertemu dengannya, hendaklah engkau memberi salam kepadanya”

Salam berasal dari kata salima artinya selamat atau sentosa. As Salaam termasuk salah satu dari nama-nama Allah yang mulia (asmaul husna) yang artinya Maha Sejahtera. Kalimat “Assalamu’alaikum” artinya : “semoga kamu berada dalam pemeliharaan Allah” atau “semoga Allah bersamamu dan Dia selalu menyertaimu”. Ada pula yang mengartikan sebagai “as-salaamah”, yakni semoga terhindar dari cela dan celaka.

Dengan demikian salam ialah ucapan atau do’a keselamatan. Oleh karena itu mengucapkan salam termasuk perbuatan yang terpuji dan utama, sebagaimana sabda Nabi saw :

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ اْلإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ : تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ (رواه البخارى ومسلم)

“Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw : Manakah Islam yang paling baik? Engkau memberi makan (orang miskin) dan mengucapkan salam kepada orang yang kau kenal dan orang yang tidak kau kenal”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah saw menganjurkan agar salam itu disebarkan di antara kita, dalam sabdanya :

لاَتَدْخَلُوْا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا, وَلاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا. أَوَلاَ أَدُلُّكُ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ (رواه مسلم)

“Kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu tidak disebut beriman sehingga saling mencintai. Maukah kamu aku tunjukkan pada sesuatu yang jika kamu mengerjakannya kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian!”. (HR. Muslim).
Dalam praktik penggunaannya salam mempunyai beberapa fungsi, antara lain dapat diterangkan sebagai berikut :

1.Salam litta’abbud
Salam litta’abbud maksudnya salam untuk ibadah. Yaitu salam yang diucapkan untuk mengakhiri shalat. Kedudukan salam dalam shalat itu adalah ta’abudi yang sifatnya ghair ma’qul (sulit difaham). Sehingga dalam hal ini kita tidak bisa bertanya kenapa demikian dan apa sebabnya . Siapapun yang shalat, imam atau ma’mum, munfarid atau berjama’ah, shalat wajib atau shalat sunat semuanya harus mengucapkan salam diakhir shalatnya.

2.Salam Lil-isti’dzan
Salam Lil-isti’dzan ialah salam untuk minta izin. Yaitu salam yang diucapkan ketika kita hendak memasuki rumah orang lain sekalipun belum bertemu dengan penghuni rumah itu, sesuai dengan firman Allah saw :

يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَتَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah-rumah yang bukan rumah kamu sebelum kamu meminta idzin dan memberi salam kepada penghuninya yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu (selalu) ingat”. (Q.S. An-Nur,24:27).

Salam isti’dzan ini maksimal diucapkan tiga kali, sesuai dengan sabda Nabi saw :

اَلْإِسْتِئْذَانُ ثَلاَثَةٌ فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلاَّ فَارِجِعْ (رواه البخارى ومسلم)

“Meminta idzin itu tiga (kali), jika kamu diberi izin, dan jika tidak, maka pulanglah”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Salam isti’dzan ini harus diucapkan juga apabila kita masuk rumah saudara, kerabat bahkan rumah kita sendiri. Dalam hal ini Allah swt berfirman :

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكًا طَيِّبَةً

“Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik”. (Q.S. An-Nur/24:61)

Kata Anas : Rasulullah berpesan kepadaku dengan lima perkara (antara lain) : “Ucapkanlah salam atas keluargamu niscaya akan bertambah banyak kebaikan rumahmu”.

3.Salam littahiyyah
Salam littahiyyah ialah salam sebagai penghormatan terhadap sesama muslim. Salam ini disebut juga salam liqo (salam perjumpaan), yaitu salam yang diucapkan pada waktu baru bertemu, sesuai dengan firman Allah swt :

وَإِذَا حُيِّتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa), sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu”. (QS. An Nisa/4:86)

Abu Dawud meriwayatkan :

إِذَا لَقَيَ أَحَدُكُمْ صَاحِبَهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهَ

“Apabila seseorang kamu bertemu dengan kawannya, maka ucapkanlah salam kepadanya”

Kata Anas : Rasulullah berpesan kepadaku dengan lima perkara (antara lain) : “Ucapkanlah salam atas orang yang bertemu denganmu dari ummatku, niscaya akan bertambah kebaikanmu”.

Adapun kaifiyat dalam salam tahiyyah atau salam liqo sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat berikut ini :

a) Bila dua orang atau dua rombongan bertemu maka yang paling baik dari antara keduanya ialah yang paling dahulu mengucapkan salam, sesuai dengan sabda Nabi saw :

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِاللهِ مَنْ بَدَأَهُمْ بِالسَّلاَمِ (رواه أبو داود)

“Sesungguhnya orang yang paling dekat dengan (rahmat) Allah dari antara dua orang yang bertemu ialah yang terlebih dahulu memberi salam”. (HR. Abu Dawud).

b) Dalam riwayat Bukhori, Muslim dan Abu Dawud Rasulullah memberikan tuntunan adab memberi salam sebagai berikut :
لِيُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْرِ, وَفِى رِوَايَةِ الْمُسْلِمِ : وَالرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِى

“Hendaklah yang muda memberi salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak dan yang berkendaraan kepada yang berjalan”.

c) Apabila yang berjumpa itu berombongan, maka adabnya sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini :

يُجْزِئُ عَنِ الْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوْا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ وَيُجْزِئُ عَنِ الْجَمَاعَةِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ (رواه أحمد والبيهقى)

“Apabila satu rombongan berjalan, cukuplah salah seorang dari mereka memberi salam, dan cukup (pula) seseorang dari antara mereka menjawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi).

d) Bila bertemu dengan wanita muslim dianjurkan pula mengucapkan salam sebagaimana hadis berikut ini :

قَالَتْ أَسْمَاء مَرَّ عَلَيْنَا النَّيِيُّ فِى النِّسْوَةِ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا

“Kata Asma, Nabi saw lewat kepada kami, para wanita, dan beliau memberi salam kepada kami”. (HR. Abu Dawud).

e) Rasululah memberi tuntunan dalam rangka pendidikan agar mengucapkan salam bila bertemu dengan anak-anak :

أَنَّ النَّبِيَّ مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ يَلْعَبُوْنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ

“Bahwasanya Rasululah lewat di kerumunan anak-anak yang sedang bermain, lalu beliau mengcapkan salam kepada mereka”. (Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

f) Dilarang memberi salam kepada Ahli Kitab, sesuai dengan sabda Nabi saw :

لاَتَبْدَؤُؤْا الْيَهُوْدَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ…. (رواه مسلم)

“Janganlah kamu mulai salam kepada Yahudi dan Nasrani….”. (HR. Muslim).

Bagaimana jika orang non muslim mengucapkan salam kepada kita? Rasulullah saw bersabda :

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُوْلُوْا : وَعَلْيْكُمْ!

“Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka jawablah “wa ‘alaikum”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullullah saw tidak pernah mengucapkan salam terhadap orang non Muslim (khususnya Ahli Kitab), salam yang beliau tulis dalam suratnya terhadap Heraclius bukan salam dalam arti memberi atau mengucapkan salam, tetapi mengajak agar Heraclius masuk Islam yang dengannya akan memperoleh keselamatan. Dalam suratnya kepada Heraclius itu beliau menulis :

اَلسَّلاَمُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى (رواه البخارى ومسلم)

“Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti petunjuk (Islam)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

g) Bila dalam suatu majlis terdapat orang-orang non muslim, tetaplah memberi salam kepada para muslimin, sesuai dengan riwayat berikut ini :

أَنَّ النَّبِيَّ مَرَّ عَلَى مَجْلِسٍ فِيْهِ أَخْلاَطٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُشْرِكِيْنَ عَبَدَةِ اْلأَوْثَانِ وَالْيَهُوْدِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ (رواه البخارى)

“Bahwa Rasulullah lewat dikerumunan orang muslim, musyrikin penyembah berhala dan orang-orang Yahudi, lalu Rasulullah salam kepada mereka (orang muslim)”. (HR. Bukhari).

h) Bila kita menerima titipan salam, maka jawabannya sebagaimana diterangkan dalam riwayat berikut ini. Rasulullah saw bersabda kepada Aisyah :

هَذَا جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ, فَقَالَتْ : وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

“(Hai ‘Aisyah), Sesunguhnya Jibril mengucapkan salam kepadamu. ‘Aisyah menjawab : ‘Wa ‘alaihis-salam wa rohmatullah wa barakatuh”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwaya Abu Dawud diterangkan bahwa seseorang dari kabilah Bani Tamim datang kepada Rasulullah saw dan menyampaikan salam dari bapaknya untuk Nabi saw. Lalu Rasulullah menjawab : “’alaika wa ‘ala abika as-salam”.
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لَهُ : إِنَّ أَبِي يُقْرِئُكَ السَّلاَمَ, فَقَالَ لَهُ : عَلَيْكَ وَعَلَى أَبِيْكَ السَّلاَمُ

“Bahwasanya seseorang berkata kepadanya (Rasulullah saw) : Sesungguhnya bapaku menyampaikan salam untukmu. Maka beliau menjawab : “Untukmu dan untuk bapakmu keselamatan”. (HR. Abu Dawud).

i) Sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa (4) ayat 86 yang artinya : “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa), sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu”. Makssudnya, bila seseorang mengucapkan : “Assalamu ‘alaikum”. Jawablah : “Wa ‘alaikum salam wa rohmatulah “. Bila yang memberi salam mengucapkan : “Asalamu’alaikum wa rohmatullah”. Jawablah : “Wa ‘alaikum salam wa rohmatullah wa barolatuh”. Inilah yang dimaksud dengan firman : “balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik”. Dan apabila yang memberi salam mengucapkan : “Assalamu’alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh”. Maka jawablah dengan yang serupa, yaitu : “wa ‘alaikum salam wa rohmatulahi wa barokatuh”.

a)Tingkatan-tingkatan salam. Rasulullah saw bersabda :

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ : اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَرَدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ وَقَالَ : "عَشْرَةٌ", ثُمَّ جَلَسَ, ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ : اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ, فَرَدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ وَقَالَ : "عِشْرُوْنَ" ", ثُمَّ جَلَسَ, وَجَاءَ آخَرُ فَقَالَ : اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ, فَرَدَّ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ وَقَالَ : "ثَلاَثُوْنَ"(رواه البخارى والنسائى والترمذى)

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, lalu ia berkata : “Assalamu ‘alaikum”. Maka Nabi saw menjawab salamnya, dan bersabda : “Sepuluh(pahalanya)”, kemudian orang itu duduk. Kemudian datang lagi yang lainnya, lalu berkata : “Assalamu’alaikum wa rohmatullahi”. Maka Nabi saw menjawab salamnya, dan bersabda : “Dua pululuh (pahalanya)”, lalu orang itu duduk. Dan datang (pula) yang lainnya, lalu berkata : “Assalamu’alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh”. Maka Rasulullah saw menjawab salamnya, dan berdsabda : “Tiga puluh (pahalanya)”. (HR. Bukhari, Nasai dan Tirmidzi).

Ibnu Qayyin Al-Jauziyah menjelaskan, bahwa salam itu adalah do’a bagi kebaikan. Dan do’a bagi kebaikan harus disebut do’anya terlebih dahulu, baru kemudian disebut orang yang dido’akannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

رَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ

“Rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait”. (Q.S. Hud,11:73).

وَسَلاَمٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوْتُ

“Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal”. (QS. Maryam,19:15).

سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ

“Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu”. (QS. Ar-Ra’d,13:24).

Adapun do’a untuk keburukan, biasanya disebut terlebih dahulu orang yang dido’akannya dan do’anya disebut kemudian, sebagaimana firman Allah swt kepada Iblis :

وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِى أِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

“Dan sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari penghabisan” (QS. Shad,38:78).

Dan kepada para pengikut Iblis :

وَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ

“Mereka mendapat kemurkaan Allah dan bagi mereka adzab yang sangat keras”. (QS. Asy-Syura,42:16).


Sesungguhnya dalam sunnah tidak ada perbedaan antara salam kepada orang mati dan kepada orang hidup. Misalnya salam bagi ahli kubur saat kita ziarah kubur, dengan ucapan “assalamu ‘alaikum ya ahlal qubur”.

4. Salam lid-Du’a.
Ialah salam yang pada prinsipnya untuk mendo’akan, yaitu salam kepada ahli kubur yang muslim, sesuai dengan sabda Nabi saw : “Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata : Adalah Rasulullah mengajarkan mereka jika ziarah ke kuburan hendaklah mengucapkan :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ (رواه أحمد ومسلم وابن ماجه)

“Assalamu’alaikum wahai penghuni kubur dari (kaum) yang mu’min dan yang muslim dan kami insya Allah pasti akan menyusul, kami memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan untuk kamu sekalian”. (HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah).

1.Salam lil-Firaq.
Ialah salam yang diucapkan apabila hendak berpisah, sesuai dengan sabda Nabi saw :

إِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيُسَلِّمْ وَإِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ وَلَيْسَتِ اْلأُوْلَى أَحَقُّ مِنَ اْلآخِرَةِ

“Apabila seseorang kamu datang ke suatu majlis, ucapkanlah salam; dan apabila hendak menginggalkan/berpisah, ucapkan (pula) salam, dan salam yang pertama tidak lebih utama daripada salam yang terakhir”. (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi)).

Adapun salam yang diucapkan sebelum khutbah atau ceramah padanya tidak terdapat keterangan yang sahih yang dapat dijadikan hujjah. Semua hadis tentang itu lemah atau dhaif. Misalnya hadis berikut ini :

فَمَنْ بَدَأَكُمْ بِالْكَلاَمِ قَبْلَ السَّلاَمِ فَلاَ تُجِيْبُوْهُ

“Barangsiapa yang memulai pembicaraan sebelum salam, janganlah dijawab”. (HR. Thabrani dan Abu Nu’aim).

Hadis tersebut dha’if atau lemah, karena dalam sanadnya terdapat seorang bernama Harun Muhammad Abu Thayib. Dia dikenal sebagai seorang Pendusta (kadzdzab). Demikian An-Nawawi menjelaskan dalam Faidul Qadir Juz 6 halaman 94.

Hadits lainnya :

اَلسَّلاَمُ قَبْلَ الْكَلاَمِ ,وَفِى لَفْظٍ : لاَتَدْعُوْا أَحَدًا إِلَى الطَّعَامِ حَتَّى يُسَلِّمَ

“Salam itu sebelum berbicara. Janganlah kamu mengajak seseorang makan sehinga ia salam terlebih dahulu”.

Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Fadl bin Shobah, dari Sa’ad bin Zakaria, dari Anbasah bin Abdurahman, dari Muhamad bin Zaadzaan, dari Muhammad bin Munkadir, dari Jabir bin Abdillah. Dalam kitab Silsilah Al-Ahadits ad-Dhaifah oleh Nashiruddin al-Bani pada juz VI, hal. 221-222, hadis nomor 1736, dikatakan sebagai hadis maudlu’ (palsu).

Kata beliau hadis ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan Abi Ya’la dalam Musnadnya 2/115, dan Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan 2/78 dari Anbasah bin Abdurrahman (seperti dijelaskan dalam riwayat Turmudzi juga) dari Muhammad bin Zaadzaan, dari Muhammad bin Munkadir dari Jabir bin Abdillah. Imam Tirmidzi sendiri berkata : Ini hadis munkar. Kata Tirmidzi pula : Saya telah mendengar Muhamad (maksudnya Imam Bukhari) berkata : “Anbasah bin Abdurahman adalah perawi yang dha’if (lemah) dalam hadits, dia seorang pelupa. Dan Muhammad bin zaadzaan juga munkar.

Kata Muhammad Nashiruddin Albani : Berkata Al-Hafid dalam Taqrib : Dia (Muhammad bin Zaadzaan) adalah matruk, yakni ditinggalkan oleh para ahli hadis. Demikian juga Anbasah bin Abdurahman adalah seorang yang matruk.

Dengan demikian, maka hadis ini pun tidak dapat dijadikan hujjah karena kedha’ifannya. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah menerangakan, bahwa Rasulullah saw selalu memulai khutbahnya dengan “hamdalah”. Dan tidak ada satupun riwayat bahwa Nabi saw pernah berkhutbah diawali dengan salam.

(2)
وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْه
“Apabila ia mengundangmu, hendaklah engkau memperkenankannya”

Ash Shan’ani mengatakan bahwa memenuhi undangan ini bersifat umum, tetapi para ulama membatasinya dengan memenuhi undangan walimah. Dan Jumhurul Ulama mengatakan bahwa memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, berdasarkan nash-nash berikut ini :

مَنْ دُعِيَ إِلَى وَلِيْمَةٍ وَلَمْ يُجِبْ, فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ (مسلم)

“Barangsiapa yang diundang pada suatu walimah dan tidak memperkenankannya, sungguh ia telah durhaka kepada Abul Qasim (Rasulullah saw)”. (HR. Muslim).

وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُولَهُ (رواه البخارى)
“Dan barangsiapa meninggalkan undangan, sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Bukhari).

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لَوْ دُعِيْتُ إِلَى كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ, وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ لَقَبِلْتُ (رواه البخارى)

“Rasulullah saw bersabda : “Jika aku diundang untuk makan kaki kambing, niscaya saya datangi. Dan sekiranya aku dihadiahi kaki depan kambing, niscaya saya terima”. (HR. Bukhari).

Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan tentang syarat-syatar undangan yang wajib didatangi, yaitu :
a.Pengundangnya sudah mukallaf.
b.Undangan itu tidak dikhususkan untuk orang-orang kaya saja, sedang yang miskin tidak diundang. Memenuhi undangan yang demikian hukumnya makruh. Rasulullah saw bersabda :
شَرُّ طَعَامِ الْوَلِيْمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيْهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا, وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلُهُ (رواه مسلم)

“Makanan yang paling jelek adalah pesta walimah perkawinan yang tidak mengundang orang yang mau datang kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang yang enggan datang kepadanya (kaya). Barang siapa tidak memperkenankan undangan maka sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ, يُدْعَى لَهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ (رواه البخارى)

“Seburuk-buruk makanan ialah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya akan tetapi meninggalkan orang-orang miskin”. (HR. Bukhari).

c.Undangan itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu yang disenangi dan dihormati.
d. Pengundangnya seorang muslim.
e.Belum didahului oleh undangan lain. Jika ada undangan lain, maka undangan yang pertama wajib didahulukan.
f.Yang diundang tidak ada halangan atau udzur. Udzur di sini boleh jadi orangnya sakit atau tempatnya jauh sehingga sangat memberatkan yang diundang.
g.Dalam walimah tersebut tidak ada kemunkaran. Misalnya dalam walimah itu disediakan khamar (minuman keras), sebagaimana sabda Nabi saw :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَقْعُدُ عَلَى مَائِدَةٍ تُدَارُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ (رواه أحمد)

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tidak boleh duduk pada suatu hidangan (walimah/resepsi) yang padanya disuguhkan khamar”. (HR. Ahmad).

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الْجُلُوْسِ عَلَى مَائِدَةٍ عَلَيْهَا الْخَمْرُ

“Rasulullah saw melarang duduk pada hidangan (walimah) yang padanya disediakan khamar”. (HR. Abu Dawud).

Bolehkah menghadiri undangan tanpa diundang?
Dahulu pada zaman Rasulullah saw ada seseorang yang bernama Thufail dari Bani Abdillah bin Ghattafan, dia sering mendatangi walimah tanpa diundang, kebiasaannya diketahui umum, akhirnya orang menamakannya “thufaily” (kekanak-kanakan) kepada siapa saja yang turut makan di tempat walimah tanpa diundang, orang yang berbuat seperti itu dinamakan juga “warisy”, dan orang yang datang ke walimah membonceng kepada orang yang diundang, dinamakan “dhoyyifun”.

Sehubungan dengan hal tersebut, ada sebuah hadits riwayat Abu Dawud, dan Abu Dawud sendiri menyatakan bahwa hadits itu lemah, karena pada sanadnya ada yang bernama Abban bin Thariq, dia itu majhul, tidak dikenal. Dan Ibnu Hajar al Asqalani menyatakan hadits itu dha’if. Adapun lafad hadits itu berbunyi :

مَنْ دَخَلَ عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ دَخَلَ سَارِقًا وَخَرَجَ مُغِيْرًا

“Barangsiapa yang masuk tanpa diundang, ia masuk sebagai pencuri dan keluar sebagai perampok”.

Akan tetapi tidak setiap yang datang ke walimah tanpa diundang itu termasuk golongan “thufaily” yang tidak tahu diri, melanggar aruran atau tidak punya malu.

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang menerangkan bahwa Abu Syu’aib pernah menyuruh orang supaya menyediakan makanan untuk lima orang. Rasulullah saw diundang oleh Abu Syu’aib Al Anshari berlima, tetapi kebetulan ada orang yang ikut pergi bersama Rasulullah saw ke tempat walimah itu dan jumlah undangan menjadi enam orang. Sehubungan dengan itu Rasulullah saw bersabda kepada Abu Syu’aib :

إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ, وَهَذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا, فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ, قَالَ : بَلْ أَذِنْتُ لَهُ.

“Sesungguhnya kamu mengundang kami berlima, dan ini laki-laki ikut kami, bila kamu mengizinkan dia izinkanlah dia (turut makan) dan bila kamu mau menolak dia, tolaklah dia”. Abu Syu’aib berkata : “Tidak, saya mengizinkan dia”.
Dalam peristiwa lain Al Bukhari meriwayatkan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah saw ada di masjid dengan para sahabat, datanglah Anas mengundang Rasulullah saw untuk makan sebagai suruhan Abu Thalhah. Lalu Rasulullah saw mengajak para sahabat untuk pergi ke rumah Abu Thalhah. Tatkala Abu Thalhah melihat Rasulullah saw datang berserta rombongan, ia berkata kepada istrinya :

يَا أُمَّ سُلَيْمٍ قَدْ جَاءَ رَسُوْلُ اللهِ بِالنَّاسِ وَلَيْسَ عِنْدَنَا مَا نُطْعِمُهُمْ

“Wahai Ummu Sulaim, Rasulullah saw telah datang bersama orang-orang, padahal kita tidak ada makanan untuk mereka”.

Imam Muslim meriwayatkan pula, bahwa Rasulullah saw pernah diundang oleh seorang Persi, yang masyhur sangat lezat gulainya, enak masakannya; tatkala Rasulullah saw menerima undangan itu, istrinya, Siti Aisyah ada, Rasulullah saw mengajukan usul agar istrinya diundang. Tapi orang itu keberatan, entah apa alasannya, mungkin takut tidak cukup atau sebab-sebab lain, dan Rasulullah saw pun menolak undangan itu.
Berdasarkan keterangan-keterangan itu, para ulama mengambil kesimpulan, bahwa tidak boleh mendatangi walimah tanpa undangan kecuali bila diketahui atau dapat dipastikan tuan rumah rela, seperti yang Rasulullah saw lakukan saat menerima undangan dari Abu Thufail.

Bila hal itu disangsikan, hendaklah berterus terang kepada ahli bait seperti Rasulullah saw berterus terang kepada Syua’ib. Dalam Kitab Fathul bari dijelaskan :

وَاسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى مَنْعِ اسْتِنْبَاعِ الْمَدْعُوِّ غَيْرَهُمْ إِلاَّ إِذَا عَلِمَ مِنَ الدَّاعِى الرِّضَا بِذَلِكَ
“Dan beralasan dengan hadits ini, tidak boleh yang diundang membawa orang lain yang tidak diundang kecuali bila ia tahu bahwa yang mengundang dia rela dengan perbuatannya itu”.

Rasulullah saw bersabda :

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيْمَةٍ فَلْيَأْتِهَا

“Apabila seseorang di antara kamu diundang kepada walimah, hendaklah ia mendatanginya”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Kita diperintahkan memenuhi undangan, mendatangi walimah, selama walimah itu tidak termasuk walimah bid’ah tabdzir, dan semata-mata riya dan kemaksiatan atau ada udzur (alasan), sebagaimana Rasulullah saw berhalangan untuk mendatangi undangan seorang Persi.

Walimah artinya makanan yang disediakan untuk orang banyak atau undangan. Dan lazim diartikan makanan yang disediakan untuk walimatul ‘urusy (walimah pengantin). Sedekah atau hadiah makanan, tanpa mengirimkan undangan, tapi kita antarkan makanan itu kepada orang-orang tertentu, yang seperti itu tidak disebut walimah, sebab mereka tidak berkumpul pada satu tempat untuk makan berjama’ah.

Untuk walimah dicontohkan Rasulullah saw menerima bantuan atau sumbangan dari mereka yang diundang dan mereka makan berjama’ah. Waktu Rasulullah saw nikah dengan Shofiyah beliau memesan kepada para sahabat :

مَنْ كَانَ عِنْدَهُ شَيْءٌ فَلْيَجِئْ بِهِ

“Barangsiapa yang mempunyai sesuatu hendaklah ia membawanya”.

Kemudian disediakan wadah untuk makanan, dan dari antara mereka ada yang membawa korma, samin dan sebagainya, lalu itu semua dicampurkan, dan mereka makan berjama’ah. Dan diakhir hadits itu diterangkan :

فَكَانَتْ وَلِيْمَةُ رَسُوْلِ اللهِ

“Maka itulah walimah Rasulullah saw”. (HR. Bukhari).

---ooOoo---

1 komentar:

Anonim mengatakan...

1. saya dan orang tua saya di undang.. tetapi orang tua saya tidak sempat dan saya mengajak kawan apa hukumnya..

2. jika saya di undang sendiri apa hukumya jika saya mengajak orang lain ke undangan tersebut..